Rekomendasi 12 Kuliner Beijing untuk Anda yang Pertama Kali Berlibur ke China
Hanifam
9/15/202515 min read


Menyapa Beijing Lewat Kuliner
Beijing bukan hanya sekedar jantung politik dan sejarah Tiongkok, tetapi juga sebuah panggung besar bagi tradisi kuliner yang sudah hidup berabad-abad lamanya. Setiap sudut kotanya menyimpan aroma yang menggoda: dari asap panggangan yang keluar dari restoran tua hingga wangi kaldu pekat yang mengepul di kios jalanan. Bagi banyak orang, mengenal Beijing tidak cukup hanya dengan berjalan-jalan di Kota Terlarang atau menyusuri Tembok Besar. Ada cara lain yang lebih intim dan personal: mencicipi apa yang dimakan penduduknya sehari-hari, dari hidangan sederhana rakyat hingga sajian kerajaan yang kini bisa dinikmati siapa saja.
Bagi Anda yang merupakan seorang wisatawan yang baru pertama kali menjejakkan kaki di Beijing, dunia kuliner kota ini mungkin terasa seperti labirin yang tak ada habisnya. Pilihannya begitu banyak, dan hampir setiap hidangan memiliki cerita sejarah maupun filosofi tersendiri. Dari semangkuk mie dengan saus kacang asin-manis yang sudah diwariskan turun-temurun, hingga sepotong daging bebek dengan kulit renyah yang dulu hanya tersaji di meja bangsawan, semua menyimpan jejak kebudayaan yang kaya. Maka, menjelajahi Beijing lewat makanannya bukan hanya soal memuaskan perut, melainkan juga perjalanan rasa yang membuka wawasan.
Dalam artikel ini, kita akan menyusuri dua belas kuliner khas Beijing yang dianggap wajib dicoba, terutama bagi Anda yang pertama kali mengunjungi Tiongkok. Bukan sekadar daftar makanan, melainkan sebuah undangan untuk ikut merasakan denyut kehidupan masyarakat Beijing melalui hidangan yang mereka cintai. Setiap suapan membawa cerita, dan setiap meja makan bisa menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana tradisi dan modernitas berpadu di kota berusia ribuan tahun ini.
1. Peking Duck
Tidak ada hidangan yang lebih identik dengan Beijing selain Peking Duck (北京烤鸭). Bahkan, banyak yang mengatakan perjalanan ke ibu kota Tiongkok tidaklah lengkap sebelum mencicipi potongan kulit bebek yang renyah berlapis daging empuk ini. Tradisi memasak bebek panggang ala Beijing sudah ada sejak zaman Dinasti Yuan, kemudian berkembang pesat di era Ming dan Qing. Dulu, sajian ini hanya boleh dinikmati oleh kalangan bangsawan, tetapi kini setiap orang bisa merasakan cita rasanya, baik di restoran legendaris maupun kedai keluarga yang lebih sederhana.
Keistimewaan Peking Duck terletak pada proses memasaknya. Bebek pilihan dipanggang dalam oven khusus dengan kayu buah, sehingga menghasilkan aroma wangi yang khas. Kulitnya dipoles hingga kecokelatan, garing, dan berkilau, sementara daging di dalamnya tetap lembut dan juicy. Penyajiannya pun memiliki ritual tersendiri: koki biasanya akan memotong bebek di depan pengunjung, memastikan setiap irisan memiliki kombinasi kulit, daging, dan lemak yang seimbang. Ada seni dalam setiap potongan, seakan-akan kita bukan hanya makan, melainkan juga menyaksikan sebuah pertunjukan kuliner.
Namun pengalaman Peking Duck tidak berhenti di situ. Potongan bebek biasanya dibungkus dalam pancake tipis bersama irisan timun, daun bawang, dan saus hoisin yang manis-asin. Saat digigit, perpaduan teksturnya begitu harmonis: kulit yang renyah, daging yang gurih, sayuran segar yang renyah, serta saus yang kaya rasa. Inilah sebabnya hidangan ini tidak hanya dikenal di Beijing, tetapi juga menjadi wajah kuliner Tiongkok di mata dunia. Tidak sedikit wisatawan yang datang ke kota ini hanya untuk mencari restoran legendaris seperti Quanjude atau Bianyifang, yang sudah menyajikan bebek panggang selama lebih dari satu abad.
Lebih dari sekadar makanan, Peking Duck adalah simbol keramahtamahan Beijing. Duduk bersama di meja bundar, berbagi gulungan pancake berisi bebek, sering kali menjadi momen hangat antara keluarga, teman, atau bahkan orang asing yang baru pertama kali bertemu. Melalui hidangan ini, pengunjung dapat merasakan bagaimana sebuah tradisi kuliner mampu menyatukan orang-orang lintas generasi, bahkan lintas budaya.


2. Zhajiangmian
Jika Peking Duck adalah bintang yang glamor, maka Zhajiangmian bisa dibilang sebagai sahabat sehari-hari masyarakat Beijing. Hidangan ini sangat populer di kalangan penduduk lokal, baik sebagai sarapan cepat maupun santapan makan siang yang mengenyangkan. Nama “Zhajiangmian” secara harfiah berarti “mie dengan saus goreng,” dan seperti namanya, saus inilah yang menjadi jiwa dari hidangan sederhana ini.
Mie yang digunakan biasanya tebal, terbuat dari gandum, dan memiliki tekstur kenyal. Setelah direbus, mie disajikan dengan saus hitam pekat yang terbuat dari pasta kacang kedelai fermentasi (doubanjiang), dimasak bersama daging cincang, biasanya babi atau sapi. Saus ini kemudian ditaruh di atas mie, dan untuk melengkapinya ditambahkan berbagai sayuran segar seperti mentimun, kecambah, atau lobak yang dipotong panjang. Kontras antara mie hangat dengan sayuran dingin memberikan keseimbangan rasa dan tekstur yang unik.
Menariknya, Zhajiangmian tidak hanya dianggap makanan, tetapi juga bagian dari identitas Beijing. Banyak orang tua yang akan menceritakan masa kecil mereka sambil mengenang semangkuk Zhajiangmian buatan rumah. Bahkan, di beberapa keluarga, ada resep rahasia yang diwariskan turun-temurun, karena setiap orang bisa menambahkan sentuhan berbeda pada sausnya. Inilah yang membuat hidangan ini terasa personal: meski sederhana, setiap mangkuk Zhajiangmian menyimpan cerita keluarga di baliknya.
Bagi wisatawan, mencicipi Zhajiangmian adalah cara untuk merasakan kehidupan sehari-hari warga Beijing. Tidak perlu mencari restoran mewah, karena mie ini justru lebih nikmat dinikmati di kedai kecil atau pasar tradisional, di mana Anda bisa melihat penduduk lokal menyantapnya sambil bercengkerama. Semangkuk Zhajiangmian yang hangat mungkin tampak biasa, tetapi di Beijing, ia adalah simbol kehangatan rumah, keramaian kota, dan tradisi yang terus hidup dari generasi ke generasi.


3. Luzhu Huoshao
Bagi sebagian orang asing, Luzhu Huoshao mungkin terasa ekstrem di awal, tetapi justru di situlah letak keotentikannya. Hidangan ini lahir dari kreativitas rakyat Beijing pada masa lalu, ketika bahan makanan mewah sulit didapat. Dengan memanfaatkan jeroan babi seperti paru-paru, usus, dan hati, masyarakat menciptakan sebuah masakan rebusan yang kaya rasa. Untuk melengkapi, potongan roti gandum (huoshao) ditambahkan ke dalam kuah pekat berwarna gelap, bersama dengan tahu fermentasi dan bumbu rempah.
Sekilas tampilannya mungkin sederhana, bahkan sedikit “menantang,” tetapi aromanya kuat dan khas. Kuahnya dimasak dengan waktu lama, membuat rasa rempah dan kedelai meresap sempurna ke dalam roti maupun jeroan. Hasilnya adalah perpaduan rasa gurih, asin, dan sedikit pahit yang unik. Tidak mengherankan jika Luzhu Huoshao sering disebut sebagai kuliner rakyat sejati, karena benar-benar mencerminkan semangat hemat, kreatif, sekaligus penuh kehangatan.
Hidangan ini biasanya ditemukan di warung-warung tradisional, bukan di restoran mewah. Banyak kedai sudah berdiri puluhan tahun dan dikelola oleh keluarga turun-temurun, sehingga resep yang digunakan jarang berubah. Setiap suapan seakan membawa kita kembali ke Beijing tempo dulu, ketika makanan bukan hanya soal gizi, tetapi juga simbol bertahan hidup di tengah keterbatasan. Mungkin tidak semua wisatawan akan langsung jatuh cinta, tetapi mencoba Luzhu Huoshao berarti membuka diri pada pengalaman yang benar-benar otentik.
Bagi masyarakat lokal, Luzhu Huoshao lebih dari sekadar makanan, melainkan makanan yang memberikan rasa nostalgia. Banyak orang Beijing yang ketika merantau ke kota lain merindukan rasa khas hidangan ini, karena sulit menemukan versi autentiknya di luar ibu kota. Jadi, jika Anda berkesempatan ke Beijing, cobalah meluangkan waktu untuk mencicipi Luzhu Huoshao di kedai tua. Mungkin rasanya menantang di awal, tetapi justru itulah pintu masuk untuk memahami jiwa kuliner rakyat Beijing yang sederhana namun penuh makna.


4. Douzhi
Tidak semua kuliner populer di Beijing mudah disukai sejak gigitan atau tegukan pertama, dan Douzhi adalah contoh terbaiknya. Minuman tradisional ini dibuat dari kacang hijau yang difermentasi, menghasilkan cairan berwarna keabu-abuan dengan aroma khas yang sering digambarkan “tajam” atau “berkarakter kuat.” Bagi penduduk lokal, Douzhi adalah bagian penting dari warisan kuliner mereka. Namun bagi wisatawan, rasanya bisa mengejutkan, bahkan membuat banyak orang berhenti setelah satu teguk.
Meski begitu, Douzhi tidak bisa dilepaskan dari identitas kuliner Beijing. Dulu, minuman ini sangat populer di kalangan rakyat jelata karena murah dan bergizi. Banyak generasi tua di Beijing yang tumbuh besar dengan Douzhi sebagai sarapan sehari-hari, biasanya ditemani dengan camilan gorengan renyah seperti jiaoquan (donat goreng) atau zha gao (kue ketan goreng manis). Perpaduan rasa asam khas Douzhi dengan gurihnya camilan tersebut menciptakan keseimbangan yang unik dan memuaskan.
Bagi orang luar, tantangan terbesarnya memang terletak pada aroma dan rasa yang tidak biasa. Namun, di situlah nilai budaya Douzhi sesungguhnya. Menyantapnya sama dengan merasakan tradisi hidup yang sudah diwariskan selama ratusan tahun. Banyak penduduk lokal percaya bahwa Douzhi memiliki manfaat kesehatan, terutama untuk pencernaan dan keseimbangan tubuh. Jadi, meskipun bagi lidah modern terasa aneh, ada kebanggaan tersendiri bagi orang Beijing ketika melihat wisatawan berani mencobanya.
Douzhi mungkin tidak akan masuk ke daftar “favorit” setiap pengunjung, tetapi mencicipinya adalah pengalaman yang memperkaya perjalanan kuliner di Beijing. Rasanya mungkin asing, bahkan sedikit menantang, tetapi justru itu yang membuatnya layak dicoba. Seperti banyak tradisi kuliner kuno, Douzhi mengajarkan kita untuk keluar dari zona nyaman, dan pada akhirnya, siapa tahu, Anda justru menemukan kenikmatan baru dalam sesuatu yang awalnya terasa asing.


5. Jing Jiang Roushi
Jika Anda mencari hidangan yang mewakili keseimbangan rasa manis dan gurih khas Beijing, Jing Jiang Rousi adalah jawabannya. Hidangan ini terdiri dari irisan tipis daging babi yang ditumis bersama saus kacang kedelai manis asin (tiangmianjiang). Dari tampilannya sederhana, tetapi aromanya langsung menggoda begitu sampai di meja. Banyak orang menyebutnya sebagai “saudara sederhana” dari Peking Duck, karena cara menyantapnya mirip: dibungkus dalam pancake tipis atau dengan lembaran tahu kering.
Yang membuat Jing Jiang Rousi istimewa adalah sausnya. Pasta kacang kedelai yang digunakan telah difermentasi, menghasilkan rasa gurih yang dalam dan sedikit manis, lalu diperkaya dengan tumisan bawang putih dan jahe. Saat menyatu dengan daging babi yang empuk, terciptalah rasa yang pekat dan kaya, tetapi tetap bersahabat di lidah. Biasanya hidangan ini disajikan dengan irisan daun bawang segar, memberikan sensasi segar yang menyeimbangkan kekayaan rasa sausnya.
Berbeda dengan Peking Duck yang cenderung berkelas dan sering dinikmati dalam acara khusus, Jing Jiang Rousi lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Beijing. Ini adalah hidangan yang kerap muncul di meja makan keluarga, atau dipesan saat makan bersama teman di restoran lokal. Rasanya yang akrab dan hangat membuatnya jadi favorit lintas generasi. Bahkan, banyak anak-anak Beijing yang mengenal hidangan ini lebih dulu sebelum mencicipi Peking Duck, karena lebih sederhana namun tetap memanjakan lidah.
Bagi wisatawan, mencoba Jing Jiang Rousi adalah cara lain untuk menyelami budaya makan di Beijing. Di balik kesederhanaannya, hidangan ini mencerminkan gaya hidup masyarakat lokal: tidak berlebihan, tetapi selalu menemukan keseimbangan antara rasa, tekstur, dan kebersamaan. Mungkin ia tidak setenar Peking Duck di mata dunia, tetapi di hati orang Beijing, Jing Jiang Rousi punya tempat tersendiri, menjadikannya sebagai sebuah rasa yang menenangkan dan selalu mengingatkan pada rumah.


6. Baozhi
Tidak ada yang lebih menenangkan di pagi hari di Beijing selain menggenggam sepotong Baozi yang masih mengepulkan uap. Roti kukus ini bisa ditemukan di hampir setiap sudut kota, dari gerobak kecil di pinggir jalan hingga restoran besar. Masyarakat lokal sudah terbiasa sarapan dengan Baozi, karena praktis, murah, dan mengenyangkan. Di balik kesederhanaannya, Baozi adalah salah satu kuliner yang paling membumi di Beijing, mencerminkan keseharian warga yang serba cepat namun tetap menghargai kehangatan makanan.
Baozi khas Beijing biasanya lebih besar dan padat dibandingkan versi dari wilayah lain di Tiongkok. Isinya beragam, mulai dari daging babi cincang yang gurih, campuran daging sapi dengan bawang bombay, hingga sayuran seperti kol, jamur, atau kucai. Ada juga varian manis berisi kacang merah atau pasta wijen hitam. Adonan rotinya dibuat dari tepung gandum yang difermentasi ringan, sehingga menghasilkan tekstur lembut dan sedikit kenyal. Saat dikukus, aroma tepung berpadu dengan isian gurih, menciptakan wangi yang sulit ditolak.
Menariknya, Baozi bukan sekadar makanan cepat saji, tetapi juga bagian dari budaya berbagi. Banyak keluarga Beijing membuat Baozi dalam jumlah banyak di rumah, lalu menyimpannya untuk disantap bersama-sama. Saat musim dingin tiba, Baozi hangat terasa seperti pelukan yang mengusir hawa dingin. Bahkan, bagi para perantau, sering kali Baozi menjadi simbol rindu kampung halaman, menjadikannya sebagai makanan sederhana yang penuh makna emosional.
Bagi wisatawan, mencicipi Baozi berarti ikut merasakan denyut kehidupan sehari-hari di Beijing. Tidak perlu mencari restoran mahal; justru pengalaman paling autentik datang dari warung kecil di sudut jalan, dimana aroma kukusan menyambut sejak jauh. Di balik setiap Baozi yang tampak biasa, tersimpan cerita tentang tradisi, kehangatan keluarga, dan kenyamanan yang melekat erat dalam budaya kuliner Beijing.


7. Hot Pot khas Beijing
Beijing memiliki musim dingin yang panjang dan menusuk, dan di saat itulah Shuan yangrou, atau hot pot ala Beijing, menjadi sahabat terbaik. Berbeda dengan hot pot dari Sichuan yang terkenal pedas membara, versi Beijing lebih sederhana namun tak kalah memikat. Potongan tipis daging domba segar disajikan mentah di atas piring, lalu dicelupkan sebentar ke dalam panci berisi kuah kaldu mendidih. Proses ini cepat, hanya butuh beberapa detik, sehingga daging tetap lembut dan juicy.
Yang membuat hot pot ala Beijing istimewa adalah saus cocolannya. Biasanya berupa saus wijen kental, dicampur dengan bawang putih, daun ketumbar, atau cabai sesuai selera. Rasanya kaya, gurih, dan sedikit manis, cocok berpadu dengan daging domba yang memiliki aroma khas. Selain daging, aneka sayuran segar, tahu, dan mie juga dimasukkan ke dalam panci, menjadikan santapan ini lengkap dan menyehatkan.
Lebih dari sekadar makanan, Shuan yangrou adalah simbol kebersamaan. Hidangan ini selalu disantap beramai-ramai di sekitar meja bundar, di mana semua orang berbagi panci dan ikut serta memasak. Suasana hangat tercipta bukan hanya dari uap panas yang mengepul, tetapi juga dari percakapan dan tawa yang mengiringi setiap suapan. Tidak mengherankan jika banyak keluarga Beijing menjadikan hot pot sebagai menu wajib saat perayaan Imlek atau kumpul besar bersama kerabat.
Bagi wisatawan, menikmati hot pot ala Beijing adalah pengalaman budaya yang tak terlupakan. Duduk di meja dengan panci mendidih di tengah, mencoba mencelupkan potongan daging tipis dengan sumpit, lalu merasakan sensasi segar gurih yang sederhana namun memikat: semua itu adalah bagian dari tradisi kuliner yang sudah berakar ratusan tahun. Di tengah musim dingin yang membeku, Shuan yangrou bukan sekadar makanan, melainkan penghangat hati dan pengikat kebersamaan.


8. Tanghulu
Tidak ada camilan jalanan di Beijing yang lebih ikonik daripada Tanghulu. Sate buah yang dilapisi gula karamel ini sering dijajakan di pinggir jalan, terutama saat musim dingin. Buah hawthorn (sejenis buah merah kecil dengan rasa asam segar) ditusuk berderet di tusukan bambu, kemudian dicelupkan ke dalam cairan gula panas hingga terbentuk lapisan kristal bening yang keras. Saat digigit, Anda akan merasakan sensasi renyah manis di luar, lalu disusul keasaman buah yang menyegarkan di dalam. Kontras inilah yang membuat Tanghulu begitu digemari.
Meski hawthorn adalah buah tradisional yang paling umum digunakan, seiring waktu variasi Tanghulu semakin beragam. Kini, Anda bisa menemukan versi dengan stroberi, anggur, jeruk kecil, bahkan tomat ceri. Beberapa pedagang menambahkan biji wijen atau lapisan tambahan cokelat untuk memberikan sentuhan modern. Namun tetap saja, rasa klasik hawthorn dengan karamel gula murni tetap menjadi favorit dan membawa nostalgia bagi banyak orang Beijing.
Tanghulu memiliki tempat khusus dalam ingatan kolektif masyarakat setempat. Bagi banyak orang dewasa di Beijing, Tanghulu adalah kenangan masa kecil, sebuah camilan sederhana yang dibeli dengan uang jajan, dimakan sambil berjalan pulang sekolah, atau dinikmati saat tahun baru Imlek. Bahkan hingga kini, pemandangan anak-anak menggenggam Tanghulu di jalanan kota tua masih menjadi bagian dari keseharian Beijing yang penuh warna.
Bagi wisatawan, mencoba Tanghulu berarti merasakan manisnya tradisi yang sudah berusia ratusan tahun. Rasanya mungkin sederhana, tetapi ada kehangatan emosional yang menyertainya. Satu tusuk Tanghulu bukan hanya camilan, melainkan potongan kecil dari budaya rakyat Beijing: memiliki rasa manis, renyah, dan penuh cerita. Tidak heran jika banyak pelancong membawa pulang Tanghulu sebagai kenang-kenangan manis dari perjalanan mereka di ibu kota Tiongkok.


9. Chaogan
Chaogan adalah salah satu kuliner tradisional Beijing yang mungkin tidak terlalu dikenal wisatawan, tetapi sangat dicintai oleh penduduk lokal. Hidangan ini berupa sup kental berisi potongan hati dan usus babi yang dimasak dengan bawang putih, kecap, serta pati untuk mengentalkan kuahnya. Teksturnya pekat, warnanya gelap, dan aromanya kuat: satu mangkuk kecil bisa memberikan rasa yang begitu dalam. Chaogan biasanya disantap bersama mantou, roti kukus putih khas Tiongkok, yang berfungsi sebagai pendamping sekaligus penyeimbang rasa.
Sejarah Chaogan dapat ditelusuri hingga Dinasti Qing, ketika hidangan ini pertama kali populer di kalangan rakyat jelata. Murah, bergizi, dan mengenyangkan, Chaogan segera menjadi makanan sarapan favorit banyak keluarga Beijing. Hingga kini, tradisi itu masih bertahan. Di pagi hari, Anda bisa menemukan banyak kedai kecil yang sudah sibuk menyajikan Chaogan kepada pelanggan setia mereka. Rasanya yang khas membuat orang rela bangun lebih pagi demi semangkuk hangat sup ini.
Bagi lidah yang belum terbiasa, Chaogan bisa terasa cukup “berani” karena penggunaan jeroan. Namun justru di situlah letak daya tariknya. Dengan bumbu yang sederhana namun berani, Chaogan menonjolkan cita rasa otentik yang jujur dan tanpa basa-basi. Setiap suapan menyajikan kombinasi antara gurih, sedikit manis, dan rasa khas jeroan yang pekat. Ditambah dengan mantou yang empuk, pengalaman makan Chaogan menjadi lengkap dan memuaskan.
Bagi wisatawan, mencoba Chaogan adalah kesempatan untuk melangkah lebih dalam ke dunia kuliner tradisional Beijing. Ini bukan hidangan mewah yang disajikan di restoran besar, melainkan makanan rakyat yang sarat dengan sejarah dan cerita. Menikmati Chaogan di kedai tua bersama warga lokal bukan hanya soal mencicipi rasa, tetapi juga merasakan atmosfer kehidupan sehari-hari Beijing yang sesungguhnya, yaitu punya rasa hangat, sederhana, dan penuh keaslian.


10. Miancha
Di antara ragam kuliner Beijing yang penuh rasa pekat dan berani, Miancha hadir sebagai hidangan sederhana yang lembut. Miancha adalah bubur kental yang dibuat dari tepung millet yang dimasak dengan air hingga mencapai tekstur halus dan creamy. Biasanya, bubur ini disajikan panas dan diberi taburan wijen panggang di atasnya. Meski tampak sederhana, Miancha menyimpan nilai sejarah yang dalam, karena sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Beijing selama berabad-abad.
Miancha dikenal sebagai sarapan tradisional, terutama di kalangan keluarga tua Beijing. Dulu, bubur ini dianggap makanan rakyat kecil, karena bahan dasarnya murah dan mudah diperoleh. Namun justru kesederhanaannya itulah yang membuat Miancha begitu melekat di hati banyak orang. Hangat, lembut, dan menenangkan, Miancha sering kali menjadi pengingat masa kecil, ketika hidangan ini dimasak di rumah-rumah sebagai cara mengawali hari.
Yang menarik dari Miancha adalah cara menyantapnya. Karena teksturnya kental, biasanya bubur ini dimakan perlahan, dengan sendok kecil, sambil menikmati aroma wijen yang khas. Rasanya ringan namun mengenyangkan, membuatnya berbeda dengan banyak hidangan Beijing lain yang cenderung kuat dan berlapis bumbu. Bagi sebagian orang, justru kesederhanaan inilah yang menjadi daya tariknya, menjadikannya sebagai sebuah jeda lembut di tengah hiruk-pikuk rasa kota besar.
Bagi wisatawan, Miancha mungkin tidak tampak “wah” dibandingkan Peking Duck atau hot pot. Namun mencicipinya memberi kesempatan untuk memahami sisi lain kuliner Beijing: sisi yang sederhana, penuh nostalgia, dan sangat manusiawi. Ini adalah makanan yang tidak dibuat untuk memamerkan kekayaan rasa, melainkan untuk memberi kenyamanan. Satu mangkuk Miancha bisa jadi pengalaman yang menyejukkan hati, seakan membawa kita lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari penduduk lokal.


11. Roujiamo versi Beijing
Roujiamo sering dijuluki sebagai “burger ala Tiongkok,” dan meskipun asal-usulnya dari Xi’an, versi Beijing juga punya daya tarik tersendiri. Hidangan ini berupa roti pipih panggang yang dibelah dua, kemudian diisi dengan daging cincang gurih yang sudah dimasak lama dalam bumbu rempah. Teksturnya renyah di luar, lembut di dalam, sementara isiannya juicy dan harum. Di Beijing, Roujiamo biasanya dibumbui dengan gaya khas ibu kota: rasa lebih manis ringan dan lebih seimbang, berbeda dengan versi Xi’an yang kuat rempah dan lebih berminyak.
Menariknya, Roujiamo di Beijing kerap hadir sebagai makanan jalanan praktis. Mudah dibawa, murah, dan mengenyangkan, menjadikannya camilan favorit para pekerja dan mahasiswa. Banyak kios kecil yang menawarkan berbagai variasi isian, mulai dari daging sapi, domba, hingga ayam. Ada pula versi vegetarian dengan isian jamur tumis atau sayuran berbumbu. Fleksibilitas inilah yang membuat Roujiamo begitu dicintai dan relevan hingga kini, bahkan di tengah modernisasi kuliner Beijing.
Selain soal rasa, Roujiamo juga mencerminkan budaya lintas daerah di Tiongkok. Meski lahir di Xi’an, makanan ini diadopsi dan diolah dengan sentuhan lokal di Beijing, membuktikan betapa kota ini adalah titik pertemuan berbagai tradisi kuliner. Dengan sedikit penyesuaian rasa, Roujiamo berhasil menemukan tempatnya di hati masyarakat ibu kota. Inilah salah satu contoh bagaimana makanan bisa beradaptasi dan berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.
Bagi wisatawan, Roujiamo versi Beijing adalah kesempatan untuk mencicipi kuliner jalanan yang lebih akrab dan mudah diterima lidah. Tidak ada ritual rumit seperti Peking Duck atau tantangan rasa seperti Douzhi, cukup gigit dan nikmati. Hangat, praktis, dan lezat, satu Roujiamo bisa menjadi teman sempurna di sela perjalanan menyusuri jalanan ramai Beijing.


12. Mahua
Sebagai penutup daftar kuliner khas Beijing, ada Mahua: camilan sederhana berbentuk kepangan yang digoreng hingga renyah. Adonannya terbuat dari tepung gandum, gula, dan sedikit minyak, kemudian dipilin hingga berbentuk seperti kepang kecil sebelum digoreng keemasan. Teksturnya renyah di luar, sedikit empuk di dalam, dengan rasa manis ringan yang membuat siapa pun mudah ketagihan. Saat digigit, suara “krek” dari Mahua seakan menjadi musik kecil yang menyenangkan.
Mahua sudah lama menjadi bagian dari kebiasaan ngemil masyarakat Beijing. Biasanya dijual di pasar tradisional atau kios camilan, baik dalam ukuran kecil untuk sekali gigit, maupun versi besar yang bisa dibagi bersama keluarga. Ada juga varian modern yang menambahkan wijen, madu, atau kacang, memberikan aroma dan rasa lebih kaya. Namun, meskipun berevolusi, Mahua tetap mempertahankan bentuk kepangnya yang khas, simbol dari keindahan sederhana yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Bagi banyak orang tua di Beijing, Mahua adalah camilan nostalgia. Mereka mengingat masa kecil ketika membeli Mahua dengan uang receh, lalu menikmatinya sambil berjalan pulang sekolah. Hingga kini, tradisi itu masih hidup, meski bentuk dan variasinya semakin beragam. Mahua bukan hanya sekadar camilan, melainkan juga bagian dari memori kolektif masyarakat, pengingat masa-masa sederhana yang penuh keceriaan.
Bagi wisatawan, mencoba Mahua adalah cara ringan untuk menutup petualangan kuliner di Beijing. Tidak seberat jeroan dalam Luzhu Huoshao atau sekompleks Peking Duck, Mahua justru menawarkan kebahagiaan sederhana: rasa manis yang renyah dan mudah dinikmati. Di balik bentuknya yang kepang indah, Mahua membawa pesan tentang tradisi, kehangatan, dan kebahagiaan kecil yang masih terus hidup di tengah kota besar yang terus berubah.


Penutup: Temukan Kuliner Favorit Anda di Beijing
Menjelajahi Beijing melalui kulinernya adalah pengalaman yang jauh lebih dari sekadar mengisi perut. Dari Peking Duck yang megah hingga Douzhi yang penuh tantangan, dari semangkuk Zhajiangmian yang menghangatkan hingga sebatang Tanghulu yang manis di musim dingin, setiap hidangan menyimpan cerita dan identitas kota ini. Beijing bukan hanya ibu kota politik, melainkan juga pusat warisan budaya yang hidup di meja makan rakyatnya. Dengan mencicipi makanan-makanan ini, kita sesungguhnya sedang menapaki jejak sejarah, tradisi, dan kehidupan sehari-hari yang membentuk jiwa kota.
Yang menarik, daftar dua belas kuliner ini memperlihatkan betapa beragamnya wajah Beijing. Ada hidangan mewah yang dulu hanya tersaji untuk bangsawan, ada pula makanan rakyat sederhana yang lahir dari keterbatasan. Namun semuanya kini dapat dinikmati siapa saja, dari penduduk lokal hingga wisatawan yang baru pertama kali datang. Di situlah letak kekuatan kuliner: ia menjadi jembatan yang menyatukan masa lalu dan masa kini, kelas sosial yang berbeda, bahkan lidah yang berasal dari berbagai penjuru dunia.
Bagi para traveler, mencicipi kuliner khas Beijing adalah cara untuk benar-benar menyentuh denyut kehidupan kota. Jalan-jalan di Beijing mungkin akan membawa Anda ke bangunan bersejarah, istana megah, atau gang sempit yang penuh cerita. Tetapi begitu Anda duduk di sebuah meja, entah di restoran tua atau kedai jalanan, lalu mencicipi makanan yang sama seperti yang disantap penduduk setempat selama ratusan tahun, saat itulah Beijing terasa lebih dekat, lebih hangat, dan lebih manusiawi.
Akhirnya, perjalanan kuliner ini bukan hanya tentang mengenang rasa, tetapi juga tentang membawa pulang pengalaman. Setiap gigitan adalah potongan kecil dari kisah besar Beijing: sebuah kota yang tidak pernah berhenti memikat, baik melalui sejarahnya, orang-orangnya, maupun makanan yang melekat dalam ingatan. Jadi, jika suatu hari Anda berkesempatan mengunjungi ibu kota Tiongkok, biarkan rasa menjadi pemandu Anda. Karena di Beijing, setiap hidangan adalah cerita, dan setiap cerita selalu layak untuk dinikmati.
Jangan lupa untuk mengikuti artikel-artikel menarik lainnya dari kami pada link berikut ini!
Ikuti kami untuk mendapatkan informasi terbaru tentang paket tur ke China dengan harga terbaik dan terjangkau!
Baca juga: Itinerary ke China: Rekomendasi Panduan Perjalanan Selama 21 Hari, dari Beijing hingga Shanghai
